Selasa, 07 Oktober 2008

RUU AP

RUU Administrasi Pemerintahan Perluas Kewenangan PTUN

[14/8/08]
“Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.


Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) awal Agustus lalu, Mahkamah Agung ikut mensosialisasikan RUU Administrasi Pemerintahan (AP) kepada kalangan hakim dan petugas pengadilan. RUU ini dianggap penting karena berkaitan langsung dengan peradilan tata usaha negara. Pada Juli lalu, keberadaan RUU ini juga sudah disinggung dalam sidang kabinet.

“RUU ini mengatur perlindungan hukum atas sikap tindak AP melalui upaya administratif dan atau melalui gugatan di Pengadilan Administrasi Negara/PTUN,” papar Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendie Lotulung, dalam makalah yang disampaikan pada Rakernas tersebut.

Salah satu poin penting dari RUU Administrasi Pemerintah adalah perluasan yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Ketua Tim Penyusun RUU AP, Prof. Eko Prasojo, kelak objek PTUN bukan hanya keputusan tertulis dari pejabat tata usaha negara. Jika draft yang sekarang disetujui bersama DPR dan Pemerintah, maka perbuatan faktual pejabat administrasi negara juga bisa menjadi objek gugatan TUN.

Selama ini, keputusan TUN yang bisa digugat harus merupakan penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual, dan final. Yurisdiksi PTUN akan bertambah jika rumusan “perbuatan faktual” disetujui. Intinya, PTUN akan diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara tindakan administrasi pemerintahan yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil. “Objek hukumnya diperluas, tidak hanya keputusan tertulis, tetapi juga keputusan tidak tertulis yang faktual,” jelas Prof. Eko Prasojo.

Ditambahkan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Indonesia itu, masuknya keputusan tidak tertulis yang faktual sebagai objek TUN dimaksudkan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang dirugikan akibat keputusan pejabat TUN. Eko melihat acapkali pejabat TUN mengeluarkan keputusan tidak tertulis, misalnya perintah lisan, yang menyebabkan perlindungan masyarakat terabaikan. Syaratnya, perbuatan pejabat TUN tadi faktual.

Dijelaskan Prof. Eko, perbuatan Faktual adalah semua perbuatan yang dilakukan oleh pejabat TUN yang tidak tertulis. Sedangkan pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang memperoleh kewenangan baik sifatnya atribusi, delegasi, maupun mandat untuk membuat Keputusan TUN yang sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. “Semua keputusan yang sifatnya tidak tertulis dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat karena kewenangan yang dimilikinya berdasarkan delegasi, atribusi, dan mandat maka dikategorikan sebagai keputusan yang tidak tertulis atau perbuatan faktual,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Edi Rohaedi mendukung perluasan yurisdiksi PTUN. Mekanisme yang berlaku selama ini, -- PTUN atau perdata—kurang maksimal dari sisi pembuktian. Menggugat langsung secara perdata mungkin bisa memaksimalkan ganti rugi, tetapi tidak bisa menguji keabsahan tindakan pemerintah. Jadi, validitas tindakan hukum pemerintah kurang memadai dari sudut pandang hukum publik. Karena itu, diperlukan alat publik untuk mengujinya, yakni lewat PTUN. “Sebaiknya, kewenangan PTUN tidak hanya Keputusan TUN saja,” ujar Edi Rohaedi.

Gagasan dalam RUU AP bukan tak menuai kritik. “Jangan ngaco, faktual itu pasti masuk perdata,” tandas Prof. Anna Erliyana, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia. Pada prinsipnya, Prof. Anna mendukung perluasan objek gugatan TUN. “Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.

Meskipun demikian, Prof. Anna Erliyana mengingatkan bahwa gagasan tersebut baru sebatas RUU. Jadi, belum tentu kelak diterima dan disahkan. Ia malah meminta tim penyusun membuat harmonisasi. “Kalau membuat suatu RUU kan mesti dilihat dulu dengan UU yang sudah ada, sinkron atau tidak. Paling tidak, dengarlah orang-orang yang berkecimpung di TUN,” tandasnya.

Keputusan TUN

Selain perbuatan aktual pejabat administrasi negara, poin penting yang juga mendapat perhatian adalah tindakan pejabat administrasi pemerintahan sebagai perbuatan melawan hukum. PTUN dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan suatu tindakan pejabat AP merupakan perbuatan melawan hukum (PMH). Karena itu, bisa juga ada ganti rugi.

Sebelumnya, umum dipahami bahwa PTUN hanya berwenang untuk memutus batal atau tidak sahnya suatu Keputusan TUN (pasal 53 ayat 1 UU PTUN). Dalam RUU AP, kewenangan PTUN diperluas tidak hanya memutus batal atau tidak sah, tetapi juga dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan tindakan AP merupakan perbuatan melawan hukum, dan ganti rugi.

Rumusan ini, jelas Prof. Eko, diperlukan untuk memperkuat daya paksa putusan PTUN dan eksistensi PTUN itu sendiri. “Selama ini banyak putusan PTUN yang tidak dijalankan oleh pejabat karena minimnya daya paksa putusan,” ujarnya.

Namun, menurut Prof. Anna Erliyana, kewenangan PTUN dalam hal mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum suatu SK TUN sudah dari dulu ada dalam praktik TUN walaupun tidak secara tertulis diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 sebagaimana diubah melalui UU No. 9 Tahun 2004.

Tidak ada komentar: