Selasa, 07 Oktober 2008

MAHASISWA

Gugatan Budhi Sumarso Mulai Diperiksa PTUN Ratusan Mahasiswa Memberi Dukungan Moral

BANDUNG, (PR).- Sidang perdana kasus gugatan Budhi Sumarso, mantan mahasiswa Fisika ITB terhadap Rektor ITB, Prof. Wiranto Arismunandar digelar Rabu (18/9) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Ratusan mahasiswa ITB yang memberikan dukungan moral kepada Budhi, memenuhi ruangan sidang yang kapasitasnya tak terlalu besar. Para mahasiswa yang datang beramai-ramai berjalan kaki dari kampus ITB menuju gedung PTUN sekitar pukul 09.00, dihadang tiga mobil petugas keamanan dan dua panser di Jl. Tamansari, persis di depan gedung Rektorat ITB. Petugas keberatan jika rombongan mahasiswa yang membawa sejumlah poster itu berjalan kaki hingga ke tujuan. Namun akhirnya mereka sepakat perjalanan dilanjutkan menggunakan kendaraan. Setibanya di PTUN, aparat kepolisian dari Polres dan Polwiltabes Bandung tetap berjaga-jaga, sementara ke dua panser menunggu di depan Gedung Sate. "Kehadiran petugas di sini hanya untuk berjaga-jaga saja, sebab kami khawatir rombongan akan mengganggu ketertiban lalu lintas. Apalagi jika mereka beramai-ramai berjalan kaki ke PTUN," tutur seorang petugas. Persidangan baru dimulai pukul 10.30, setelah sebelumnya mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di halaman PTUN. Majelis hakim yang menyidangkan perkara No. 42/G/1996/PTUN Bandung tersebut terdiri dari Satri Rusyad, SH (ketua), Arif Nurdua, SH dan Yodi M. Wahyunadi. Budhi Sumarso diwakili enam pengacara dari LBH Bandung. Mereka adalah Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, Ny. Amartiwi Saleh, SH, Ny. Melani, SH, Haneda Sri Lastoto SH, M. Irwan Nasution, SH dan Bambang Rikihadi N, SH. Kuasa hukum ITB diwakili tujuh orang pengacara. Yaitu Soepomo, SH, Prakoso SH, Isa Ansori, SH, Patalana ,SH, Ratimin, SH, Suharto, SH, dan Sumitra, SH. Yang dipersoalkan Budhi dalam gugatannya adalah Surat Keputusan Rektor No. 233/SK/PT07.H/O/1996, tanggal 8 Mei 1996 tentang pencabutan status kemahasiswaannya. Surat itu dikeluarkan Rektor setelah meninggalnya Zaki Tiffany Lazuardian (18), mahasiswa Jurusan Fisika ITB, yang baru selesai mengikuti OS di Himpunan Mahasiswa Fisika (Himafi), yang disebut Program Penerimaan Anggota Muda (PPAM). Menurut Ny. Melani, tindakan Rektor mengeluarkan surat keputusan itu, sewenang-wenang dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintah yang baik. Pasalnya, SK bertentangan dengan asas larangan berlaku surut. "SK ditetapkan 8 mei 1996, tetapi keputusan mulai berlaku 2 Februari 1996," jelasnya. Padahal, seperti yang dikemukakan Dr. Philipus M. Hadjon, SH, SK tidak boleh berlaku surut. Di samping itu, SK juga bertentangan dengan asas persamaan (egalite). Sebab kegiatan dan hukuman di PPAM Himafi 1995-1996, pada dasarnya relatif sama dengan PPAM Himafi tahun sebelumnya dan PPAM himpunan lain. Bahkan PPAM tahun 1995-1996 lebih ringan dari tahun sebelumnya. Tetapi panitia PPAM Himafi tahun sebelumnya tidak ada yang dicabut status kemahasiswaannya secara permanen. Turunnya SK, menurut Direktur LBH, sangat merugikan Budhi. Karenanya, Budhi berharap agar SK ditunda pelaksanaannya selama pemeriksaan sengketa TUN berjalan dan hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ganti rugi Selain menggugat SK pemecatan terhadap dirinya, Budhi juga menggugat ganti rugi materi kepada Rektor ITB sebesar Rp 3 juta untuk biaya yang telah dikeluarkannya selama kuliah di ITB. Pada sisi lain, akibat turunnya SK pemecatan, Budhi menjadi sangat tertekan dan masyarakat dapat memandang kematian Zaki adalah akibat kesalahannya. Padahal hal itu belum dibuktikan oleh peradilan pidana. Namun dalam jawabannya, kuasa hukum tergugat menolak dalil-dalil yang diajukan penggugat, sehingga meminta majelis hakim menolak gugatan. Menurutnya, keluarnya SK Rektor sudah melalui hasil pemeriksaan Komisi Disiplin ITB dan dibahas dalam rapat pimpinan. PPAM Himafi juga dinilai melakukan pelanggaran dalam kegiatannya. Antara lain, melebihi batas waktu kegiatan yang ditetapkan selama tujuh hari dan acara PPAM berlangsung melebihi pukul 23.00. Pelanggaran lain yang dilakukan PPAM adalah melakukan long march dan jurit malam, yang tidak ada dalam rincian acaranya. Untuk itulah, keputusan yang dikeluarkan Rektor sesuai prosedur. Bisa di PTUN-kan Persidangan tersebut tampaknya bakal berlangsung seru. Apalagi pada saat hampir bersamaan dengan digelarnya kasus itu di PTUN, pihak ITB kembali mengeluarkan sanksi terhadap 16 mahasiswa Teknik Sipil yang juga dinilai melanggar dalam kegiatan penerimaan anggota baru himpunannya. Menurut Oga Zano, seorang mahasiswa yang terkena sanksi, mereka akan mencari penjelasan kepada pihak rektorat berkenaan dengan jatuhnya sanksi 1-2 semester terhadap 16 mahasiswa Sipil. "Kami akan mencoba berdialog dan mencari penjelasan. Sebab, kami tidak tahu apa saja pelanggaran yang telah kami perbuat," ucap Oga mewakili rekan-rekannya. Mereka memang pernah dipanggil Komisi Disiplin (Komdis). Tetapi pemanggilan itu sifatnya seperti interogasi, karena pertanyaan yang diajukan hanya pencocokan terhadap hasil penyelidikan Komdis. Jika pihak rektorat tak bersedia diajak berdialog atau memberikan penjelasan, maka bukannya tak mungkin akan ditempuh jalur PTUN. Sementara itu, berkenaan dengan jatuhnya sanksi skorsing, Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil untuk sementara dibubarkan. Para anggota akan melakukan rapat anggota guna mencari upaya-upaya pembelaan.***

Tidak ada komentar: